Oleh Sardono Syarief
Malam masih tampak gelap. Fajar belum juga tiba. Meski demikian, dengan sikap congkak, si Jago telah berteriak-teriak memberisiki lelap tidur binatang hutan lainnya.
“Bak,bak,bak, kukuruyuuuuuuuukkkk….! Hai, semua binatang penghuni hutan! Bangunlah kalian! Ingat, hari sudah siang! Cepat kumpul ke mari ! Ada hal yang perlu segera kita bicarakan!”
Mendengar titah Rajanya, semua binatang yang ada di dalam hutan itu cepat-cepat bangun. Dengan langkah tebirit-birit dan mata terkantuk-kantuk, mereka segera mendapatkan si Jago, raja mereka. Tampak dengan sikap angkuh, si Jago berdiri pada pokok beringin yang belum lama tumbang diterjang angin ribut.
“Daulat, Gusti. Ada apa malam-malam Gusti mengumpulkan kami?”sembah Harimau begitu tiba di hadapan Jago. Binatang besar lagi bertaring tajam itu menggerak-gerakkan kepalanya sebagai tanda hormat pada sang Raja.
“Ayo, yang lain tirukan!” perintah si Jago dengan suara keras lagi menggelegar.
Dengan gerakan cepat Kerbau, Sapi, Banteng, Gajah, Singa, Kambing, Kijang, Kancil, Burung Hantu, Rajawali, dan masih banyak binatang lainnya segera menirukan sikap Harimau.
“Nah, begitu! Bagus….! Bagus…..!”ujar si Jago. “Mana si Prenjak? Mengapa ia tak tampak di sini? Ayo, siapa yang tahu? Di mana si Kerdil itu berada?”mata si Jago melotot mencari-cari keberadaan Burung Prenjak.
Para binatang yang ditanya tak ada yang berani menjawab. Mereka juga tak ada yang berani berbisik walau lirih sekali pun. Di hati mereka khawatir, salah jawaban bisa jadi sasaran kemarahan rajanya.
“Tahukah kau Kutilang? Di mana si Kerdil, temanmu itu berada?”
“Ti,ti,tidak, Gusti,”jawab Kutilang dengan suara gagap.
“Kau tahu, Cil?”pertanyaan sang Raja beralih kepada si Kancil.
“Saya juga tidak tahu, Gusti,”sahut si Kancil apa adanya.
“Ah, benar-benar tolol kau ini,Cil ! “bentak si Jago dengan nada tinggi. “Kukira kau ini binatang yang paling cerdik di seisi hutan ini. Ternyata keliru. Ternyata bodohmu habis-habisan, Cil!”si Jago tampak marah lagi kecewa benar.
Diumpat demikian, si Kancil tak berani berkutik. Ia menunduk dalam. Tak berani menjawab, apalagi melawan. Binatang itu diam seribu bahasa.
“Ayo, siapa di antara kalian yang tahu, di mana si Prenjak congkak itu berada, rakyatku?”
Para binatang yang ditanya diam semua. Mereka tak ada yang sanggup memberikan keterangan. Mereka pilih diam, daripada menjawab, salah-salah bisa celaka sendiri.
“Hai ! Apa kalian semua ini tuli, ya? Ditanya tidak ada yang menjawab,” bentak si Jago dengan nada marah. “Apa kalian ini bisu?”sambungnya dengan mata memerah.
Bukan main rasa kesal di hati si Jago. Dia berpendapat, bahwa semua rakyatnya pagi itu mulai berani mempermainkan dirinya. Membangkang titahnya. Menyepelekan perintahnya.
“Hai! Apakah kalian ini sudah tidak tunduk kepadaku lagi? Hah….!”binatang berbulu emas yang selama ini bangga menjadi raja itu berulangkali menggeleng-gelengkan kepala. Sikapnya yang sombong kian tampak ketika memperhatikan sikap semua rakyatnya dengan cibiran sinis. “Apakah kalian sudah tidak mau mengakuiku lagi sebagai Raja seperti si Prenjak keparat itu?”tambahnya. “Apakah kalian tak melek? Kalau hidup dan mati si Prenjak sial itu nasibnya berada di kedua kakiku? Kalian tahu tidak?”si Jago membentak-bentak.
Para binatang yang ditanya diam terpekur. Tak ada yang berani angkat bicara.
“Jangan mentang-mentang pandai berkicau merdu, lalu si Kerdil itu tidak mau tunduk kepadaku. Bahkan sebaliknya, sebagai rakyat, justru dialah yang harus senantiasa tunduk dan menaruh hormat kepadaku. Bukankah aku sebagai Rajanya? Bukankah aku sebagai Raja kalian semua?”
Sikap si Jago kian angkuh. Dia mengibas-ngibaskan ekor panjangnya menyapu tanah hingga menimbulkan lautan debu. Karena debu tadi, jadi sesaklah seluruh pernapasan dan paru-paru rakyatnya. Demikian pula kedua sayapnya yang berlapiskan emas. Olehnya juga sengaja dikepak-kepakkan dengan keras, agar menimbulkan gema yang cukup memekikkan telinga rakyatnya. Begitu pula kepalanya yang bermahkota intan permata. Dengan sikap yang amat congkak si Jago juga menggeleng-gelengkannya berulangkali, hingga menimbulkan suara gaduh bagaikan guruh.
Dari melihat itu, semua rakyatnya jadi tak suka. Jadi tak simpati lagi kepada sang Raja. Tetapi apa daya? Mereka belum ada yang berani terus terang menentang sikap sang Raja. Kalaupun pagi itu mereka terlihat tunduk, hanyalah sikap berpura-pura. Karena pada dasarnya, hati mereka sudah berontak. Sudah tidak ingin lagi dipimpin oleh sang Raja yang bersikap semena-mena. Raja yang sombong dan congkak. Mereka sudah sangat merindukan datangnya sang Raja baru yang bersikap bijak lagi mulia.
“Ha,ha,ha,ha….! Mengapa kalian bisu semua? Mengapa kalian tuli semua? Apakah kalian memang sudah tidak ada yang mendengar pertanyaanku! Hah…?”suara si Jago memecah keheningan lagi.
“Ampun seribu ampun, Tuanku!” sembah Kijang Emas memberanikan diri.
“Iya, Kijang Emas. Apa yang hendak kaukatakan?”sahut si Jago seraya mengasah kedua taji yang menempel di kedua kakinya.
“Kemarin sore saya melihat si Prenjak sedang sakit panas, Tuan. Dia sedang flu dan sakit gigi. Sehingga pagi ini dia tak bisa datang memenuhi panggilan Tuan Raja ke mari,”Kijang Emas
mencari alasan untuk membela Burung Prenjak, sahabatnya.
“Ah, benarkah kata-katamu, Kijang Emas? “sahut si Jago. “Dapatkah omonganmu saya percaya?”
“Benar, Tuan Raja! Saya tidak berbohong,”sahut si Kijang Emas mencoba meyakinkan Rajanya.
“Kurasa omonganmu bohong, Kijang!”ucap si Jago dengan amat geram. “Oleh sebab itu, ini upah untukmu! Cetak…! Cetak…! Cetak….!”
“Aduuuhhh….! Ampun Tuan Rajaku, ampuuunnn….! Aduuuhhhh….!”si Kijang Emas lari kesakitan. Dari kepalanya memancar deras darah segar. Darah merah dari luka tendangan kedua taji runcing lagi tajam milik sang Raja yang sombong.
Kini akibat kehabisan darah, tubuh si Kijang Emas lemah. Binatang pembela kebenaran itu lunglai tak berdaya. Hingga akhirnya matilah ia di bawah rumpun bambu tengah hutan.
“Ha,ha,ha,ha…..!”tawa si Jago dengan sikap angkuh. “Ayo, siapa berani melawan saya, Raja kalian? Raja yang tak ada tandingan! Raja paling sakti di seluruh jagad binatang ini. Ayo, siapa ingin menyusul kematian si Kijang sial itu? Ha,ha,haha,ha…..!”
“Aku…! Aku yang ingin menyusul kematian si Kijang Emas itu, Raja!”tiba-tiba suara besar lagi menggema muncul dari dalam sungai.
Mendengar ada suara yang sangat mengagetkan itu, semua binatang menoleh ke arah sungai yang tak jauh dari sang Raja Jago berdiri.
“Hah….? Ha,ha,ha,ha….! Rupanya kau, Buaya Putih? Berani benar kau menantangku,ya, Buaya sial? Apakah kau tak takut mati? Ha,ha,ha,ha…..!”ujar si Jago dengan suara lantang.
“Apa yang harus saya takutkan dari kamu, hai Raja sombong!”balas Buaya Putih tak gentar.
“Apa? Lancang sekali kau melawan Rajamu, Buaya tolol?”mata si Jago melotot merah. Darahnya makin berdesir memenuhi kepala. Marah.
“Diam kau, Raja terkutuk! Kau bukan rajaku! Kau adalah binatang biasa. Tak lebih dari kami semua!”tantang Buaya sengit.
“Apa?”mulut Jago menganga. Ia tidak menyangka kalau pagi itu ada rakyatnya yang terus terang berani menyatakan melawan dirinya. “Kau nekad untuk mati benar rupanya, Buaya! Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku, hah…?”
“Aku ingin menyingkirkan kesombonganmu dari muka bumi ini, hai si Jago keparat.”
“E,e,e….! Apa kau takkan menyesal melawanku?”
“Untuk membela dan menegakkan suatu kebenaran, tak ada yang perlu aku sesalkan, Jago!”
“Sungguh kau ingin mati di kedua ujung kakiku?”
“Cobalah kalau kau memang Raja sakti mandraguna!”tantang Buaya Putih tak gentar sedikitpun.
Dengan disaksikan oleh semua binatang yang berkumpul di situ, tiba-tiba si Jago menumpahkan kemarahannya kepada sang Buaya Putih.
“Iyaaaaattt….! Cetak…! Cetak…! Cetak….!”berulangkali taji si jago menghantam kepala sang Buaya Putih. Namun taji Jago yang tampaknya tajam mengkilat itu tak mampu sedikit pun menembus kulit kepala Buaya. Sebaliknya, kedua senjata ampuh sang Raja jadi melengkung tak berarti apa-apa.
“Ha,ha,ha,ha….!”sang Buaya Putih tertawa mengejek kesombongan si Jago. “Kalau tajimu ternyata tak mampu menembus kulitku, mau berbuat apa lagi kau, si Jago? Ha,ha,ha…..!”
Mendapat tantangan sang Buaya, si Jago tak mampu berbuat apa-apa. Mukanya pucat pasi.Wajahnya menunduk dalam. Karena rasa malu pada rakyatnya yang tak terhingga, maka larilah ia ke dalam hutan sendirian. Si Raja Jago yang sombong tadi kini lari tanpa dikawal oleh Patih dan Pembesar negeri lagi.
Rabu, 18 Januari 2012
Info: Buku Baru
Telah terbit buku kumpulan cerita anak terbaru “Seuntai Kalung Emas” karya Sardono Syarief, Ketua Umum Agupena Kabupaten Pekalongan yang sehari-hari aktif sebagai pengajar, pendidik, serta menulis cerita anak-anak untuk anak didiknya di sekolah.
Buku setebal 100 halaman yang berisi kisah teladan mengenai sikap, budi pekerti positip, serta berkarakter terpuji oleh para tokoh ceritanya ini sangat cocok dimiliki dan dibaca oleh setiap siswa SD/MI atau orang-orang tua dan guru sebagai pelengkap cerita pengantar tidur atau berkisah di depan kelas.
Buku terbitan akhir tahun 2011 yang dihiasi dengan 14 illustrasi menarik ini dibandrol dengan harga Rp 25.000,-. Bagi peminat bisa pesan langsung ke penerbitnya, CV. Cipta Prima Nusantara Semarang, dengan alamat Sukorejo RT 03/RW 01 Gunungpati, Semarang, atau via e-mail: ciptaprimanusantara@gmail.com, Hp 081326393554. Berminat? Silakan kontak alamat tersebut di atas!
Buku setebal 100 halaman yang berisi kisah teladan mengenai sikap, budi pekerti positip, serta berkarakter terpuji oleh para tokoh ceritanya ini sangat cocok dimiliki dan dibaca oleh setiap siswa SD/MI atau orang-orang tua dan guru sebagai pelengkap cerita pengantar tidur atau berkisah di depan kelas.
Buku terbitan akhir tahun 2011 yang dihiasi dengan 14 illustrasi menarik ini dibandrol dengan harga Rp 25.000,-. Bagi peminat bisa pesan langsung ke penerbitnya, CV. Cipta Prima Nusantara Semarang, dengan alamat Sukorejo RT 03/RW 01 Gunungpati, Semarang, atau via e-mail: ciptaprimanusantara@gmail.com, Hp 081326393554. Berminat? Silakan kontak alamat tersebut di atas!
Label:
Kumcer
Jumat, 03 Desember 2010
J E R A
Oleh Sardono Syarief
Domiyang adalah desa tempat tinggal Imam. Anak itu dilahirkan dari keluarga tak mampu. Bapaknya bernama Rawi. Usianya sudah hampir enam puluh tahun. Sumi, ibunya pun umurnya sudah cukup tua. Adapun Imam merupakan anak tunggal mereka.
Entah oleh pengaruh siapa, setelah agak besar, Imam memiliki sifat nakal. Dia berani membantah perintah kedua orang tuanya. Bahkan sering ia menyakiti hati Pak Rawi dan Bu Sumi. Padahal ketika kecil dulu Imam sangat patuh terhadap Pak Rawi maupun Bu Sumi. Dia pun rajin belajar mengaji. Taat mendirikan sholat. Anak itu mengerti akan dosa. Begitu pula di sekolah, ia termasuk murid yang bertabiat baik, hormat pada guru, lagi cukup pandai.
Namun sayang. Setelah usianya menginjak ketiga belas tahun, watak Imam berubah total. Anak itu nakal. Sikapnya kian tak terarah. Sedikit saja kedua orang tuanya tak sengaja berbuat salah, tak segan-segan Imam membalasnya dengan kesalahan pula. Malah disengaja agar kedua orang tuanya jadi sakit hati lagi marah.
Seperti pada Senin pagi itu. Imam telah bersiap diri. Bukannya untuk pergi ke sekolah. Sebab dia telah mogok di kelas 5 setahun yang lalu. Tetapi untuk berangkat berburu burung. Terlihat di lehernya menggelantung sebuah ketapel karet. Sebuah alat yang biasa digunakannya untuk membidik burung liar di pepohonan.
“Hendak ke mana kau pergi, Mam?”tanya ibunya ingin tahu.
“Tidak usah banyak tanya!”sahut Imam ketus. Sama sekali tak sopan.
“Jangan mengganggu anak-anak sekolah di jalan! Nanti kau dimarahi orang!”
“Terserah saya. Ibu tak usah mengatur!”sambil menjawab seperti itu, tangan Imam telah berkacak pinggang. Kedua bola matanya melotot ke arah Bu Sumi.
Tiap kali melihat sikap Imam demikian, Bu Sumi lebih baik pilih diam. Sebab ibu tadi tahu benar, bila dirinya terus berkomentar, tentu anak itu akan marah. Bahkan bisa jadi dirinya akan mendapatkan bidikan peluru batu Imam.
Sementara itu, Imam telah melangkah jauh menyusuri jalan desa. Sesekali mukanya tengadah ke atas. Kedua bola matanya mengintai burung-burung yang berloncatan di reranting cengkih. Satu dua kali anak itu tampaknya telah pula melepaskan bidikan ke sasarannya. Namun tak seekor burung pun yang jatuh akibat hantaman peluru batu dari ketapel maut Imam.
“Duh, sialan!”gerutu Imam. “Prenjak kurang ajar!”gerutunya lagi dengan hati mulai kecewa. “Mau mati saja banyak bertingkah,”sambungnya sambil mengejar lari burung prenjak.
Rupanya sepasang burung kecil yang cantik tadi berhasil menghindar dari amukan Imam. Keduanya terbang berpindah pohon akibat kaget oleh suara kerosak daun cengkeh yang terusik peluru batu anak itu.
“Prilak...! Prilak....! Prilak....! Cer....! Cer.....! Cer....!”
Kedua burung itu bahkan berkicau bersahutan. Oleh Imam kicauan tersebut dirasakan sebagai ejekan. Imam sangat tersinggung oleh ulah kedua burung kecil tadi. Oleh karena itu, dengan amat membabi buta, anak itu berkali-kali melepaskan peluru batu dengan ketapil mautnya.
“Ini, kaurasakan peluru ampuhku, prenjak sialan!”gerutunya sambil menarik kuat-kuat karet ketapel yang disandangnya. “Jret...!”
“Blebeeeerrr....!”karena kagetnya, kedua prenjak tadi pun segera terbang berpindah tempat.
“Prilak..! Prilak...! Prilak....!”seraya melompat-lompat di ranting manggis, sang jantan berkicau mencari-cari betinanya.
“Cer...! Cer...! Cer...!”sahut sang betina dari pohon lain.
“Huuh, kurang ajar! Menghina saya kamu ya, Prenjak?”marah Imam makin bertambah.
“Ini, terimalah ganjaran peluruku! Jret...!”sekali lagi anak itu melepaskan pelurunya.
“Blebeeerr....!”kedua burung tadi serentak menghindar.
“Uh, tak kena!”hati Imam makin dongkol.
“Ini, sekali lagi! Jret...!”keras-keras peluru batu itu dilepas. Namun tak mengenai sasaran. Peluru batu tadi menghantam dahan manggis. Karena tekanannya sangat keras, maka mentallah peluru batu tersebut ke arah semula. Peluru batu sebesar kelereng itu melesat menghantam bola mata kanan Imam.
“Aduuuuuhhhhhhh....! Toloooooooong......! Tolong, aku, aduuuuhhhhhhhh....! Toloooong....! Hee....eeemmm....! Sakiiiiiitttt………..!
Aduh, toloooooooooooooong………….!”
Imam meraung-raung kesakitan. Dirinya jatuh bangun meminta tolong. Namun sayang. Saat itu di tempat tersebut sepi. Tak ada seorang pun yang melintas di situ. Sehingga lama sekali Imam merasakan sakitnya hantaman peluru batu yang mengenai bola mata kanannya. Bola mata Imam pecah tampaknya. Dari dalamnya mengucur deras darah segar.
“Aduh, Bu.....! Aduh, Pak....! Aduh.....! Maafkan aku, Bu...! Maafkan aku, Pak....! Hou......!”Imam menangis. Anak itu teringat pada Bapak dan Ibunya di rumah. Ia sangat menyesali akan perbuatan durhaka terhadap kedua orangtuanya.
Imam terus meraung-raung. Karena jauh dari rumah, Bapak maupun Ibunya tak mendengar raungan Imam. Semakin anak nakal itu meraung, semakin deras pula darah yang mengalir dari bola mata kanannya. Semakin pedih pula derita yang ia rasakan. Hingga akhirnya Imam tak sadarkan diri. Lama………..!
------------------------------
Domiyang adalah desa tempat tinggal Imam. Anak itu dilahirkan dari keluarga tak mampu. Bapaknya bernama Rawi. Usianya sudah hampir enam puluh tahun. Sumi, ibunya pun umurnya sudah cukup tua. Adapun Imam merupakan anak tunggal mereka.
Entah oleh pengaruh siapa, setelah agak besar, Imam memiliki sifat nakal. Dia berani membantah perintah kedua orang tuanya. Bahkan sering ia menyakiti hati Pak Rawi dan Bu Sumi. Padahal ketika kecil dulu Imam sangat patuh terhadap Pak Rawi maupun Bu Sumi. Dia pun rajin belajar mengaji. Taat mendirikan sholat. Anak itu mengerti akan dosa. Begitu pula di sekolah, ia termasuk murid yang bertabiat baik, hormat pada guru, lagi cukup pandai.
Namun sayang. Setelah usianya menginjak ketiga belas tahun, watak Imam berubah total. Anak itu nakal. Sikapnya kian tak terarah. Sedikit saja kedua orang tuanya tak sengaja berbuat salah, tak segan-segan Imam membalasnya dengan kesalahan pula. Malah disengaja agar kedua orang tuanya jadi sakit hati lagi marah.
Seperti pada Senin pagi itu. Imam telah bersiap diri. Bukannya untuk pergi ke sekolah. Sebab dia telah mogok di kelas 5 setahun yang lalu. Tetapi untuk berangkat berburu burung. Terlihat di lehernya menggelantung sebuah ketapel karet. Sebuah alat yang biasa digunakannya untuk membidik burung liar di pepohonan.
“Hendak ke mana kau pergi, Mam?”tanya ibunya ingin tahu.
“Tidak usah banyak tanya!”sahut Imam ketus. Sama sekali tak sopan.
“Jangan mengganggu anak-anak sekolah di jalan! Nanti kau dimarahi orang!”
“Terserah saya. Ibu tak usah mengatur!”sambil menjawab seperti itu, tangan Imam telah berkacak pinggang. Kedua bola matanya melotot ke arah Bu Sumi.
Tiap kali melihat sikap Imam demikian, Bu Sumi lebih baik pilih diam. Sebab ibu tadi tahu benar, bila dirinya terus berkomentar, tentu anak itu akan marah. Bahkan bisa jadi dirinya akan mendapatkan bidikan peluru batu Imam.
Sementara itu, Imam telah melangkah jauh menyusuri jalan desa. Sesekali mukanya tengadah ke atas. Kedua bola matanya mengintai burung-burung yang berloncatan di reranting cengkih. Satu dua kali anak itu tampaknya telah pula melepaskan bidikan ke sasarannya. Namun tak seekor burung pun yang jatuh akibat hantaman peluru batu dari ketapel maut Imam.
“Duh, sialan!”gerutu Imam. “Prenjak kurang ajar!”gerutunya lagi dengan hati mulai kecewa. “Mau mati saja banyak bertingkah,”sambungnya sambil mengejar lari burung prenjak.
Rupanya sepasang burung kecil yang cantik tadi berhasil menghindar dari amukan Imam. Keduanya terbang berpindah pohon akibat kaget oleh suara kerosak daun cengkeh yang terusik peluru batu anak itu.
“Prilak...! Prilak....! Prilak....! Cer....! Cer.....! Cer....!”
Kedua burung itu bahkan berkicau bersahutan. Oleh Imam kicauan tersebut dirasakan sebagai ejekan. Imam sangat tersinggung oleh ulah kedua burung kecil tadi. Oleh karena itu, dengan amat membabi buta, anak itu berkali-kali melepaskan peluru batu dengan ketapil mautnya.
“Ini, kaurasakan peluru ampuhku, prenjak sialan!”gerutunya sambil menarik kuat-kuat karet ketapel yang disandangnya. “Jret...!”
“Blebeeeerrr....!”karena kagetnya, kedua prenjak tadi pun segera terbang berpindah tempat.
“Prilak..! Prilak...! Prilak....!”seraya melompat-lompat di ranting manggis, sang jantan berkicau mencari-cari betinanya.
“Cer...! Cer...! Cer...!”sahut sang betina dari pohon lain.
“Huuh, kurang ajar! Menghina saya kamu ya, Prenjak?”marah Imam makin bertambah.
“Ini, terimalah ganjaran peluruku! Jret...!”sekali lagi anak itu melepaskan pelurunya.
“Blebeeerr....!”kedua burung tadi serentak menghindar.
“Uh, tak kena!”hati Imam makin dongkol.
“Ini, sekali lagi! Jret...!”keras-keras peluru batu itu dilepas. Namun tak mengenai sasaran. Peluru batu tadi menghantam dahan manggis. Karena tekanannya sangat keras, maka mentallah peluru batu tersebut ke arah semula. Peluru batu sebesar kelereng itu melesat menghantam bola mata kanan Imam.
“Aduuuuuhhhhhhh....! Toloooooooong......! Tolong, aku, aduuuuhhhhhhhh....! Toloooong....! Hee....eeemmm....! Sakiiiiiitttt………..!
Aduh, toloooooooooooooong………….!”
Imam meraung-raung kesakitan. Dirinya jatuh bangun meminta tolong. Namun sayang. Saat itu di tempat tersebut sepi. Tak ada seorang pun yang melintas di situ. Sehingga lama sekali Imam merasakan sakitnya hantaman peluru batu yang mengenai bola mata kanannya. Bola mata Imam pecah tampaknya. Dari dalamnya mengucur deras darah segar.
“Aduh, Bu.....! Aduh, Pak....! Aduh.....! Maafkan aku, Bu...! Maafkan aku, Pak....! Hou......!”Imam menangis. Anak itu teringat pada Bapak dan Ibunya di rumah. Ia sangat menyesali akan perbuatan durhaka terhadap kedua orangtuanya.
Imam terus meraung-raung. Karena jauh dari rumah, Bapak maupun Ibunya tak mendengar raungan Imam. Semakin anak nakal itu meraung, semakin deras pula darah yang mengalir dari bola mata kanannya. Semakin pedih pula derita yang ia rasakan. Hingga akhirnya Imam tak sadarkan diri. Lama………..!
------------------------------
Label:
Cernak
Senin, 23 Agustus 2010
Bagaimana Menulis Cerita Anak?
Oleh Sardono Syarief
Dewasa ini sering kita saksikan perilaku buruk anak di hadapan orang lain. Tak sedikit dari mereka yang bersikap tidak sopan terhadap orang tua maupun guru. Kekurangsopanan mereka di antaranya adalah; tak mau bertegur sapa kepada orang yang pernah dikenal, jalan bahkan lari di hadapan orang tua yang sedang berdiri-tanpa minta permisi, makan sambil melenggang di jalan umum, tidak menempatkan unggah-ungguh dalam memberikan sapaan, seperti memanggil nama orang yang lebih tua hanya namanya saja, dan masih banyak contoh lain lagi yang kurang enak didengar telinga.
Penyimpangan sikap dan perilaku ini tentu saja terbentuk dari lingkungan pergaulan mereka sehari-hari. Lingkungan yang tak pernah menanamkan sikap dan perilaku baik, mana mungkin akan menghasilkan buah yang baik? Sebaliknya, lingkungan yang selalu menghadirkan pengaruh sikap positif, besar kemungkinan akan membuahkan hasil yang positif pula. Untuk dapat mengubah perilaku agar anak-anak bisa bersikap positif sebagaimana yang kita harapkan, ternyata dongeng atau cerita anak memiliki peran yang cukup penting.
Cerita anak maupun dongeng ternyata dapat dimanfaatkan juga oleh orang tua atau guru sebagai salah satu media untuk menanamkan budi pekerti baik pada anak. Penyampaiannya bisa secara lisan di tengah-tengah keluarga atau di depan kelas oleh guru. Demikian pula bisa disampaikan secara tertulis, misal lewat buku, majalah, ataupun koran. Sekarang, tinggal bagaimana cara yang bisa kita tempuh apabila kita ingin menyampaikannya lewat bahasa tulis?
Nah, agar kita bisa menghadirkan dongeng atau cerita anak dengan bahasa tulis, ada sedikitnya 5 (lima ) unsur yang perlu kita persiapkan. Dari kelima unsur tersebut, antara lain:
1. Tema, yaitu pokok masalah yang ingin kita sampaikan kepada anak. Bisa masalah budi pekerti, masalah pentingnya persahabatan,masalah petualang, masalah pendidikan, masalah kedisiplinan, masalah kerajinan, dan masalah-masalah yang lain.
Jika kita menulis cerita tentang kepahlawanan, berarti tema tulisan kita kepahlawanan. Jika yang kita tuangkan membahas masalah sopan-santun, berarti kita menulis cerita yang bertemakan budi pekerti, dan lain sebagainya.
2. Tokoh, yaitu pelaku dalam sebuah cerita. Pelaku ada dua kelompok. Pelaku utama dan pelaku musuh. Dalam sebuah cerita, pelaku utama sering disebut lakon atau protagonis. Sedangkan pelaku musuh, sering diistilahkan lawan atau antagonis.
Untuk menulis sebuah cerita, kedua macam pelaku tersebut harus kita hadirkan. Dan biasanya, pelaku utama (protagonis), akan selalu dimenangkan. Sebaliknya, pelaku musuh (antagonis), akan berakhir kalah.
3. Alur, yaitu jalan cerita dari awal hingga akhir. Alur sering disebut juga plot cerita. Alur dapat menggambarkan atau merangkai cerita dari awal sampai akhir dengan manis dan enak dibaca.
Ibarat kita naik sepeda motor, jalan yang kita tempuh itulah alurnya. Jika jalan tersebut lurus, halus dan tak berbelok-belok, tentu kita akan merasakan nyaman dalam berkendaraan. Sebaliknya, bila jalan tersebut banyak liku dan berlubang, tentu kita merasakannya tak enak di badan.
Demikian pula alur atau jalan cerita. Jika kita merangkai cerita pada alur yang lurus, alur yang mudah dipahami arahnya, maka sebagai pembaca tentu akan berkomentar; ini cerita bagus! Atau ini cerita jelek, karena sulit dipahami arah alur ceritanya.
4. Latar, yaitu ruang dan waktu serta suasana lingkungan tempat cerita bergerak, menyatu dengan tema, tokoh, maupun alur ceritanya. Latar sering disebut setting cerita. Latar juga sering dikatakan sebagai tempat cerita itu terjadi. Apakah di pegunungan, di tepi pantai, di kota besar, di dalam rumah, di sekolah, atau di tempat-tempat lain yang sesuai dengan tema cerita?
5. Gaya, yaitu cara atau teknik pengarang dalam menulis atau menyampaikan cerita. Kita bisa menulis cerita dengan gaya humor, serius, santai, dan semacamnya menurut teknik yang kita inginkan. Satu hal yang perlu kiga ingat! Jangan sekali-sekali kita menulis dengan gaya menggurui pembaca. Sebab meskipun masih kecil, anak-anak tidak mau dianggap selamanya bodoh.
Ingat! Dongeng atau cerita anak yang baik adalah cerita yang ditulis secara sederhana, namun penuh isi dan makna, tidak keluar dari tema, tepat dalam pemilihan tokoh, mengandung pesan berharga, enak dibaca, mudah dipahami, serta dapat meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembaca.
Untuk bisa menghasilkan semua itu, dalam mengawali tulisan pada cerita pun kita harus dapat memilih kata dan kalimat yang bisa menarik hati pembaca. Karena sebuah cerita yang pembukaannya kurang menarik, pasti akan ditinggalkan begitu saja oleh pembacanya. Dalam hal ini anak-anak.
Nah, jika sekiranya kita semua sudah mampu merangkai dongeng atau cerita dengan bahasa tulis, terutama untuk menanamkan budi pekerti baik kepada anak-anak, mari kita mulai sejak sekarang! ***
Dewasa ini sering kita saksikan perilaku buruk anak di hadapan orang lain. Tak sedikit dari mereka yang bersikap tidak sopan terhadap orang tua maupun guru. Kekurangsopanan mereka di antaranya adalah; tak mau bertegur sapa kepada orang yang pernah dikenal, jalan bahkan lari di hadapan orang tua yang sedang berdiri-tanpa minta permisi, makan sambil melenggang di jalan umum, tidak menempatkan unggah-ungguh dalam memberikan sapaan, seperti memanggil nama orang yang lebih tua hanya namanya saja, dan masih banyak contoh lain lagi yang kurang enak didengar telinga.
Penyimpangan sikap dan perilaku ini tentu saja terbentuk dari lingkungan pergaulan mereka sehari-hari. Lingkungan yang tak pernah menanamkan sikap dan perilaku baik, mana mungkin akan menghasilkan buah yang baik? Sebaliknya, lingkungan yang selalu menghadirkan pengaruh sikap positif, besar kemungkinan akan membuahkan hasil yang positif pula. Untuk dapat mengubah perilaku agar anak-anak bisa bersikap positif sebagaimana yang kita harapkan, ternyata dongeng atau cerita anak memiliki peran yang cukup penting.
Cerita anak maupun dongeng ternyata dapat dimanfaatkan juga oleh orang tua atau guru sebagai salah satu media untuk menanamkan budi pekerti baik pada anak. Penyampaiannya bisa secara lisan di tengah-tengah keluarga atau di depan kelas oleh guru. Demikian pula bisa disampaikan secara tertulis, misal lewat buku, majalah, ataupun koran. Sekarang, tinggal bagaimana cara yang bisa kita tempuh apabila kita ingin menyampaikannya lewat bahasa tulis?
Nah, agar kita bisa menghadirkan dongeng atau cerita anak dengan bahasa tulis, ada sedikitnya 5 (lima ) unsur yang perlu kita persiapkan. Dari kelima unsur tersebut, antara lain:
1. Tema, yaitu pokok masalah yang ingin kita sampaikan kepada anak. Bisa masalah budi pekerti, masalah pentingnya persahabatan,masalah petualang, masalah pendidikan, masalah kedisiplinan, masalah kerajinan, dan masalah-masalah yang lain.
Jika kita menulis cerita tentang kepahlawanan, berarti tema tulisan kita kepahlawanan. Jika yang kita tuangkan membahas masalah sopan-santun, berarti kita menulis cerita yang bertemakan budi pekerti, dan lain sebagainya.
2. Tokoh, yaitu pelaku dalam sebuah cerita. Pelaku ada dua kelompok. Pelaku utama dan pelaku musuh. Dalam sebuah cerita, pelaku utama sering disebut lakon atau protagonis. Sedangkan pelaku musuh, sering diistilahkan lawan atau antagonis.
Untuk menulis sebuah cerita, kedua macam pelaku tersebut harus kita hadirkan. Dan biasanya, pelaku utama (protagonis), akan selalu dimenangkan. Sebaliknya, pelaku musuh (antagonis), akan berakhir kalah.
3. Alur, yaitu jalan cerita dari awal hingga akhir. Alur sering disebut juga plot cerita. Alur dapat menggambarkan atau merangkai cerita dari awal sampai akhir dengan manis dan enak dibaca.
Ibarat kita naik sepeda motor, jalan yang kita tempuh itulah alurnya. Jika jalan tersebut lurus, halus dan tak berbelok-belok, tentu kita akan merasakan nyaman dalam berkendaraan. Sebaliknya, bila jalan tersebut banyak liku dan berlubang, tentu kita merasakannya tak enak di badan.
Demikian pula alur atau jalan cerita. Jika kita merangkai cerita pada alur yang lurus, alur yang mudah dipahami arahnya, maka sebagai pembaca tentu akan berkomentar; ini cerita bagus! Atau ini cerita jelek, karena sulit dipahami arah alur ceritanya.
4. Latar, yaitu ruang dan waktu serta suasana lingkungan tempat cerita bergerak, menyatu dengan tema, tokoh, maupun alur ceritanya. Latar sering disebut setting cerita. Latar juga sering dikatakan sebagai tempat cerita itu terjadi. Apakah di pegunungan, di tepi pantai, di kota besar, di dalam rumah, di sekolah, atau di tempat-tempat lain yang sesuai dengan tema cerita?
5. Gaya, yaitu cara atau teknik pengarang dalam menulis atau menyampaikan cerita. Kita bisa menulis cerita dengan gaya humor, serius, santai, dan semacamnya menurut teknik yang kita inginkan. Satu hal yang perlu kiga ingat! Jangan sekali-sekali kita menulis dengan gaya menggurui pembaca. Sebab meskipun masih kecil, anak-anak tidak mau dianggap selamanya bodoh.
Ingat! Dongeng atau cerita anak yang baik adalah cerita yang ditulis secara sederhana, namun penuh isi dan makna, tidak keluar dari tema, tepat dalam pemilihan tokoh, mengandung pesan berharga, enak dibaca, mudah dipahami, serta dapat meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembaca.
Untuk bisa menghasilkan semua itu, dalam mengawali tulisan pada cerita pun kita harus dapat memilih kata dan kalimat yang bisa menarik hati pembaca. Karena sebuah cerita yang pembukaannya kurang menarik, pasti akan ditinggalkan begitu saja oleh pembacanya. Dalam hal ini anak-anak.
Nah, jika sekiranya kita semua sudah mampu merangkai dongeng atau cerita dengan bahasa tulis, terutama untuk menanamkan budi pekerti baik kepada anak-anak, mari kita mulai sejak sekarang! ***
Label:
Artikel
Jumat, 20 Agustus 2010
Mau Belajar Mengarang?
Judul Buku : Kiat Menulis untuk Media Massa
(Belajar Jurnalistik Secara Otodidak)
Pengarang : Mulyoto, S.Pd
Penerbit : CV. Sahabat, Klaten
Tebal buku : xi + 124 halaman
Tahun Terbit : 2006
Dalam pengertian sehari-hari, untuk bisa menulis atau mengarang, seseorang banyak ditentukan oleh bakat. Ada yang bilang, tanpa bakat, mana mungkin seseorang bisa melakukan kegiatan mengarang? Memang pendapat semacam itu benar. Namun tidak semuanya mutlak. Sebab tampaknya bakat itu sendiri cuma 1%, selainnya banyak ditentukan oleh keringat dan kerja keras (Andrei Aksana dalam Intisari Mei, 2005). Dengan demikian, seseorang yang tidak memiliki bakat mengarang pun, asalkan punya kemauan dan kerja keras untuk melakukan kegiatan mengarang, lama kelamaan akhirnya dia akan bisa juga.
Namun untuk bisa menghasilkan semua itu, tentu saja sebelumnya kita dituntut untuk memiliki bekal pengetahuan dan seluk-beluk mengarang. Pengetahuan tersebut bisa kita dapatkan dari teori –teori dan pendapat para pengarang di luar kita. Bisa melalui koran, majalah,maupun buku-buku teori mengarang atau menulis. Misal seperti “Kiat Menulis untuk Media Massa (Belajar Jurnalistik Secara Otodidak) “ karya Mulyoto,S.Pd yang penulis ulas sekarang ini.
Di dalam buku ini saudara Mulyoto membagikan pengalaman mengarangnya ke dalam 7 (tujuh ) bagian.
Bagian pertama, berisi tentang motivasi. Di sini diuraikan beberapa manfaat dari kegiatan menulis di media massa yang salah satu di antaranya adalah uang. Ternyata dengan kegiatan menulis bisa kita peroleh sejumlah uang imbalan atau honor dari sebuah tulisan yang kita hasilkan. Dari pengertian ini, Mulyoto sangat berharap, agar pembaca dapat tergugah hatinya untuk mau belajar menjadi penulis. Karena dengan menulis kita bisa memperoleh uang.
Bagian kedua, berisi tentang penjajakan dalam kegiatan menulis. Pada tahap ini, pembaca diajak untuk menjajaki beberapa jenis tulisan jurnalistik. Calon penulis diberikan gambaran mau pilih jenis tulisan mana yang menjadi minatnya? Mau pilih jenis berita(news), artikel, feature (berita kisah), cerpen, puisi, atau resensi buku? Masing-masing jenis disajikan pula contohnya oleh Mulyoto. dengan jelas dan gamblang.
Diharapkan pada bagian ini, pembaca dapat memperoleh gambaran tentang berbagai jenis tulisan yang dapat kita tulis. Di samping itu, pengetahuan tentang media yang dapat dijadikan sasaran tembak pengiriman naskah, berikut persyaratan jurnalistik apa yang harus dipenuhi oleh sebuah naskah.
Bagian ketiga, merupakan langkah praktik mengarang atau menulis. Pada tahap ini, pembaca diajak untuk mulai mengarang berikut pengalaman Mulyoto saat dulu belajar mengarang. Di sini banyak pengalaman manis atau pahit Mulyoto ketika memulai menerjuni dunia pengarangan.
Bagian keempat, berisi editing. Pada bagian ini diuraiakan tentang pengertian editing, bagaimana cara mengedit, sampai pada aspek apa saja yang perlu diedit dari berbagai jenis tulisan yang telah kita tulis.
Bagian kelima, berisi tentang bagaiamana cara berkirim naskah ke media? Untuk menghindari naskah yang kita kirim ke media jadi terlambat tiba atau hilang di tengah perjalanan, di bagian ini disajikan tatacara atau teknis yang harus dikuasai oleh seorang penulis dalam berkirim naskah. Pada bagian ini juga disajikan beberapa contoh alamat media massa yang bisa kita kirimi naskah yang telah berhasil kita tulis.
Bagian keenam, tahap menunggu. Dalam tahap ini disajikan tentang kemungkinan nasib naskah yang telah kita kirimkan ke media massa beserta cara menyikapinya. Bagaimana sikap yang kita ambil sedandainya naskah yang kita kirimkan tadi ditolak atau tidak berhasil dimuat oleh media yang kita tuju?
Bagian ketujuh, cara membuat penerbitan sendiri. Pada bagian ini, diuraikan tentang langkah-langkah praktis dalam mewujudkan sebuah penerbitan. Pembaca juga diajak untuk mau mencoba membuat penerbitan sendiri, meskipun pada awalnya segalanya serba amat sederhana. Baik sederhana dalam bentuk penampilan, peralatan, maupun jumlah
oplah yang dihasilkan. Siapa tahu media kita lama-kelamaan bisa jadi berkembang pesat dan melebar ke masyarakat luas sebagaimana media yang telah kita kenal sekarang ini?
Kiranya buku tentang teori mengarang ini sangat pas untuk kita miliki, terutama oleh para pembaca yang punya minat untuk terjun ke dunia mengarang. Buku ini sangat banyak muatan pengetahuan tentang mengarang yang belum pernah kita temukan di buku lain.
Sayang, buku yang berisi penuh muatan ini disajikan dengan sampul depan yang agak kurang menarik. Sampul buku ini berkesan tidak begitu menyala (tampak lama) sehingga kurang mengundang minat calon pembaca. Kekurangan buku ini juga dijilid bukan dengan benang. Sehingga apabila sering kita buka dan kita baca, satu per satu kertasnya mudah lepas dari lem atau perekatnya.
Namun itu semua sekedar contoh kelemahan buku ini. Nilai lebihnya masih sangatlah banyak!
Sardono Syarief
(Belajar Jurnalistik Secara Otodidak)
Pengarang : Mulyoto, S.Pd
Penerbit : CV. Sahabat, Klaten
Tebal buku : xi + 124 halaman
Tahun Terbit : 2006
Dalam pengertian sehari-hari, untuk bisa menulis atau mengarang, seseorang banyak ditentukan oleh bakat. Ada yang bilang, tanpa bakat, mana mungkin seseorang bisa melakukan kegiatan mengarang? Memang pendapat semacam itu benar. Namun tidak semuanya mutlak. Sebab tampaknya bakat itu sendiri cuma 1%, selainnya banyak ditentukan oleh keringat dan kerja keras (Andrei Aksana dalam Intisari Mei, 2005). Dengan demikian, seseorang yang tidak memiliki bakat mengarang pun, asalkan punya kemauan dan kerja keras untuk melakukan kegiatan mengarang, lama kelamaan akhirnya dia akan bisa juga.
Namun untuk bisa menghasilkan semua itu, tentu saja sebelumnya kita dituntut untuk memiliki bekal pengetahuan dan seluk-beluk mengarang. Pengetahuan tersebut bisa kita dapatkan dari teori –teori dan pendapat para pengarang di luar kita. Bisa melalui koran, majalah,maupun buku-buku teori mengarang atau menulis. Misal seperti “Kiat Menulis untuk Media Massa (Belajar Jurnalistik Secara Otodidak) “ karya Mulyoto,S.Pd yang penulis ulas sekarang ini.
Di dalam buku ini saudara Mulyoto membagikan pengalaman mengarangnya ke dalam 7 (tujuh ) bagian.
Bagian pertama, berisi tentang motivasi. Di sini diuraikan beberapa manfaat dari kegiatan menulis di media massa yang salah satu di antaranya adalah uang. Ternyata dengan kegiatan menulis bisa kita peroleh sejumlah uang imbalan atau honor dari sebuah tulisan yang kita hasilkan. Dari pengertian ini, Mulyoto sangat berharap, agar pembaca dapat tergugah hatinya untuk mau belajar menjadi penulis. Karena dengan menulis kita bisa memperoleh uang.
Bagian kedua, berisi tentang penjajakan dalam kegiatan menulis. Pada tahap ini, pembaca diajak untuk menjajaki beberapa jenis tulisan jurnalistik. Calon penulis diberikan gambaran mau pilih jenis tulisan mana yang menjadi minatnya? Mau pilih jenis berita(news), artikel, feature (berita kisah), cerpen, puisi, atau resensi buku? Masing-masing jenis disajikan pula contohnya oleh Mulyoto. dengan jelas dan gamblang.
Diharapkan pada bagian ini, pembaca dapat memperoleh gambaran tentang berbagai jenis tulisan yang dapat kita tulis. Di samping itu, pengetahuan tentang media yang dapat dijadikan sasaran tembak pengiriman naskah, berikut persyaratan jurnalistik apa yang harus dipenuhi oleh sebuah naskah.
Bagian ketiga, merupakan langkah praktik mengarang atau menulis. Pada tahap ini, pembaca diajak untuk mulai mengarang berikut pengalaman Mulyoto saat dulu belajar mengarang. Di sini banyak pengalaman manis atau pahit Mulyoto ketika memulai menerjuni dunia pengarangan.
Bagian keempat, berisi editing. Pada bagian ini diuraiakan tentang pengertian editing, bagaimana cara mengedit, sampai pada aspek apa saja yang perlu diedit dari berbagai jenis tulisan yang telah kita tulis.
Bagian kelima, berisi tentang bagaiamana cara berkirim naskah ke media? Untuk menghindari naskah yang kita kirim ke media jadi terlambat tiba atau hilang di tengah perjalanan, di bagian ini disajikan tatacara atau teknis yang harus dikuasai oleh seorang penulis dalam berkirim naskah. Pada bagian ini juga disajikan beberapa contoh alamat media massa yang bisa kita kirimi naskah yang telah berhasil kita tulis.
Bagian keenam, tahap menunggu. Dalam tahap ini disajikan tentang kemungkinan nasib naskah yang telah kita kirimkan ke media massa beserta cara menyikapinya. Bagaimana sikap yang kita ambil sedandainya naskah yang kita kirimkan tadi ditolak atau tidak berhasil dimuat oleh media yang kita tuju?
Bagian ketujuh, cara membuat penerbitan sendiri. Pada bagian ini, diuraikan tentang langkah-langkah praktis dalam mewujudkan sebuah penerbitan. Pembaca juga diajak untuk mau mencoba membuat penerbitan sendiri, meskipun pada awalnya segalanya serba amat sederhana. Baik sederhana dalam bentuk penampilan, peralatan, maupun jumlah
oplah yang dihasilkan. Siapa tahu media kita lama-kelamaan bisa jadi berkembang pesat dan melebar ke masyarakat luas sebagaimana media yang telah kita kenal sekarang ini?
Kiranya buku tentang teori mengarang ini sangat pas untuk kita miliki, terutama oleh para pembaca yang punya minat untuk terjun ke dunia mengarang. Buku ini sangat banyak muatan pengetahuan tentang mengarang yang belum pernah kita temukan di buku lain.
Sayang, buku yang berisi penuh muatan ini disajikan dengan sampul depan yang agak kurang menarik. Sampul buku ini berkesan tidak begitu menyala (tampak lama) sehingga kurang mengundang minat calon pembaca. Kekurangan buku ini juga dijilid bukan dengan benang. Sehingga apabila sering kita buka dan kita baca, satu per satu kertasnya mudah lepas dari lem atau perekatnya.
Namun itu semua sekedar contoh kelemahan buku ini. Nilai lebihnya masih sangatlah banyak!
Sardono Syarief
Label:
Resensi Buku
Senin, 16 Agustus 2010
BAJU PRAMUKA
Oleh Sardono Syarief
“Kloneng, kloneng, kloneng….!”lonceng yang tergantung di dekat pintu kantor guru memanggil anak-anak yang sedang istirakhat untuk kembali masuk ke ruang kelas masing-masing.
Sabtu siang itu pelajaran di kelas 6 SDN 02 Lumeneng adalah Seni Budaya dan Keterampilan (SBK). Bu Isti, guru kelasnya mengisi mata pelajaran tersebut dengan berbagai tanya jawab sehubungan dengan akan diberangkatkannya regu pramuka ke bumi perkemahan bulan Agustus mendatang.
“Selamat siang, Anak-anak!”demikian ujar Bu Isti ketika tiba di kelas. “Siapa di antara kalian yang masih ingat, tanggal berapa diperingatinya hari pramuka, Anak-anak?”
“Tanggal 14 Agustus, Bu!”jawab semua anak serempak.
“Bagus! Bagus! Kalian masih ingat betul, rupanya!”kata Bu Guru Isti memuji.
“Memangnya ada apa, Bu?”tanya Rijo sambil berdiri dari tempat duduknya, ingin tahu.
Sembari tersenyum simpul, Bu Is menjawab,“Untuk memperingati hari lahirnya pramuka tersebut, kita akan mengadakan kemah.”
“Kita akan berkemah, Bu?”tanya Mulyo dengan nada gembira.
“Ya, kita akan berkemah selama tiga hari, Anak-anak,”sahut Bu Guru Is dengan mantap.
“Di mana itu, Bu?”sela Reni.
“Di lapangan Siwedus-Desa Paninggaran.”
“Oh, desa di sebelah utara desa kita ini bukan , Bu?”potong Imah dengan kening berkerut-kerut. Ia membayangkan, betapa jauhnya jarak desa tersebut dari desa tempat tinggalnya.
Bu Guru Isti cuma mengangguk, mengiyakan.
“Kapan kiranya kita akan berangkat ke bumi perkemahan, Bu?”Leni ikut bertanya.
“Hari Jumat, bulan Agustus, minggu kedua.”
“Kalau Jumat berangkat, lantas hari apa kita pulang, Bu?”Ifiharti menyela.
“Senin pagi.”
“Jadi berapa hari kita ada di bumi perkemahan, Bu?”masih tanya Ifiharti.
“Sekitar tiga hari.”
Suasana kelas hening sejenak. Anak-anak tampak larut dalam pikirannya masing-masing.
“Kira-kira berapa anak dari sekolah kita yang akan diberangkatkan, Bu?”tanya Aryo memecah keheningan.
“Dari kelas 4, lima anak. Kelas 5, lima anak. Selainnya dari kelas 6, yaitu 20 anak. Jadi, ada berapa anak jumlah semuanya, Anak-anak?”
“Tiga puluh anak, Bu!”seru Sri dengan segera.
“Ya. tiga puluh anak,”ujar Bu Isti mengulang kalimat Sri.
“Lantas, akan dijadikan berapa tenda dan berapa regu, Bu?”masih tanya Sri.
Bu Isti tidak segera menjawab. Sejenak beliau mengolah pikir. Selang dua detik kemudian,”Kita jadikan tiga tenda, dan kita bagi menjadi enam regu.”
“Baik, Bu,”sela Aryo. “Apakah anak kelas 6 dari SD sini harus ikut semua, Bu?”lanjut si ketua kelas tadi meminta kejelasan.
“Ya. Semua harus ikut. Kecuali yang sakit!”jawab Bu Guru Is tegas.
Usai berkata demikian, diamlah Bu Is untuk menunggu pertanyaan teman Aryo yang lain. Suasana tanya jawab tampaknya berlangsung lama hingga siang.
***
Matahari tepat di atas kepala, ketika anak-anak pulang dari sekolah. Siang itu cuaca panas sekali. Udara terasa amat gerah. Gersang! Tenggorokan kering karena haus, sempat memaksa empat anak lelaki mampir ke gubug Ratman untuk meminta air putih. Keempat anak itu antara lain; Aryo, Rijo, Mulyo, dan Rudin.
“Permisi, Mbok! Ratman ada di rumah, Mbok?”salam Aryo dengan sopan.
Nenek tua yang di tangannya sedang menjahit baju pramuka usang itu, segera menjawab.
“Oh, ada, Nak, ada…! Mari silakan masuk!”dengan tergopoh-gopoh nenek tua yang ternyata ibu Ratman menyilakan Aryo dan kawan-kawan masuk.
Aryo dan ketiga temannya menurut. Mereka duduk di lincak bambu di sudut gubug tua warisan almarhum ayah Ratman.
Sementara itu, ibu Ratman segera menuju ke ruang tengah untuk mendapatkan Ratman, anak tunggalnya.
“Man! Itu ada kawan-kawanmu datang. Cepat temui mereka!”kata-kata ibu Ratman.
Ratman menurut. Anak lelaki yang murah senyum itu keluar menemui tamunya.
“Hai, Man! Kenapa empat hari ini engkau tak pernah masuk sekolah? Sakitkah engkau?”demikian Aryo bertanya panjang.
“Ya! Kenapa, Man?”tambah Rudin.
Ratman diam membisu.
“Sebenarnya sakit sih tidak, Nak,”jawab Mbok Ratman menerangkan. “Ratman cuma bingung. Sehari-hari ia hanya menangis saja. Gelisah dan tak mau makan.”
“Lho! Memangnya kenapa, Mbok?”dengan nada cukup kaget Rijo menyahuti.
“Ratman takut dimarahi gurunya, Nak. Sebab lusa ia tidak bakal bisa mengikuti kemah.”
“Kenapa memangnya, Mbok?”Mulyo ikut bertanya.
“Sebab Ratman tidak punya seragam pramuka yang pantas pakai, Nak. Lagipula ia tidak punya uang saku untuk bayar iurannya. Untuk itu Ratman pilih mogok sekolah.”
Mendengar penuturan tersebut, keempat kawan Ratman kaget seketika. Ada rasa haru bercampur iba di hati mereka. Oleh sebab itu untuk sesaat suasana jadi hening.
“Maaf, Mbok,”ujar Aryo memecah keheningan. “Untuk urusan seragam maupun uang saku, tak usah Embok maupun Ratman pikirkan,”sambung si anak orang kaya di desanya itu penuh janji. “Kami semua nanti yang akan mencarikan jalan keluar bagi kesulitan Ratman, Mbok.”
” Betul, Mbok! Kami semua nanti yang akan mencarikan jalan keluar! Yang penting kau bersiap diri, Man. Besok lusa kau akan kami jemput untuk ikut kemah. Bagaimana?”tambah Rudin meyakinkan.
“Tapi….!”sambil tengadah memandang Rudin, Ratman membuka mulut.
“Tapi apa…?”
“Baju seragam dan uang saku, begitu?”sahut Aryo cepat.
Ratman mengangguk.
“Kau tak usah khawatir, Man! Tinggal berangkat! Semua urusan kami. Bagaimana?”
Ratman mengangguk lagi.
“Sudah. Kalau begitu, kami pulang dulu. Lusa kau kami jemput,”demikian Aryo berkata mantap.
***
Angin dingin masih terasa menggigil mengusap kulit. Kabut putih masih terlihat menyelimuti puncak gunung Slamet. Burung prenjak masih terdengar ramai kicaunya di dedahan cengkeh.
Pagi itu anak-anak SDN 02 Lumeneng berbondong-bondong berangkat ke bumi perkemahan dengan berjalan kaki. Mereka berjalan di sepanjang pematang sawah sambil bernyanyi-nyanyi riang. Hingga tak terasa jalan turun-naik mendaki perbukitan telah jauh ditempuhnya.
“Ayo, kita nyanyi terus! Ayo, Man, kita nyanyi terus untuk menghibur kesedihan hati! Kita semua pramuka, harus senantiasa gembira! Pantang sedih, pantang menyerah!”demikian seru Aryo di tengah-tengah anak lainnya.
Mereka terus melangkah ke arah utara sambil terus bertepuk tangan. Lagu ‘Di Sini Senang di Sana Senang’ terus mereka dendangkan. Hingga tak terasa mereka tiba di tempat tujuan. Aryo dan kawan-kawan merasa senang. Demikian pula Ratman.***
“Kloneng, kloneng, kloneng….!”lonceng yang tergantung di dekat pintu kantor guru memanggil anak-anak yang sedang istirakhat untuk kembali masuk ke ruang kelas masing-masing.
Sabtu siang itu pelajaran di kelas 6 SDN 02 Lumeneng adalah Seni Budaya dan Keterampilan (SBK). Bu Isti, guru kelasnya mengisi mata pelajaran tersebut dengan berbagai tanya jawab sehubungan dengan akan diberangkatkannya regu pramuka ke bumi perkemahan bulan Agustus mendatang.
“Selamat siang, Anak-anak!”demikian ujar Bu Isti ketika tiba di kelas. “Siapa di antara kalian yang masih ingat, tanggal berapa diperingatinya hari pramuka, Anak-anak?”
“Tanggal 14 Agustus, Bu!”jawab semua anak serempak.
“Bagus! Bagus! Kalian masih ingat betul, rupanya!”kata Bu Guru Isti memuji.
“Memangnya ada apa, Bu?”tanya Rijo sambil berdiri dari tempat duduknya, ingin tahu.
Sembari tersenyum simpul, Bu Is menjawab,“Untuk memperingati hari lahirnya pramuka tersebut, kita akan mengadakan kemah.”
“Kita akan berkemah, Bu?”tanya Mulyo dengan nada gembira.
“Ya, kita akan berkemah selama tiga hari, Anak-anak,”sahut Bu Guru Is dengan mantap.
“Di mana itu, Bu?”sela Reni.
“Di lapangan Siwedus-Desa Paninggaran.”
“Oh, desa di sebelah utara desa kita ini bukan , Bu?”potong Imah dengan kening berkerut-kerut. Ia membayangkan, betapa jauhnya jarak desa tersebut dari desa tempat tinggalnya.
Bu Guru Isti cuma mengangguk, mengiyakan.
“Kapan kiranya kita akan berangkat ke bumi perkemahan, Bu?”Leni ikut bertanya.
“Hari Jumat, bulan Agustus, minggu kedua.”
“Kalau Jumat berangkat, lantas hari apa kita pulang, Bu?”Ifiharti menyela.
“Senin pagi.”
“Jadi berapa hari kita ada di bumi perkemahan, Bu?”masih tanya Ifiharti.
“Sekitar tiga hari.”
Suasana kelas hening sejenak. Anak-anak tampak larut dalam pikirannya masing-masing.
“Kira-kira berapa anak dari sekolah kita yang akan diberangkatkan, Bu?”tanya Aryo memecah keheningan.
“Dari kelas 4, lima anak. Kelas 5, lima anak. Selainnya dari kelas 6, yaitu 20 anak. Jadi, ada berapa anak jumlah semuanya, Anak-anak?”
“Tiga puluh anak, Bu!”seru Sri dengan segera.
“Ya. tiga puluh anak,”ujar Bu Isti mengulang kalimat Sri.
“Lantas, akan dijadikan berapa tenda dan berapa regu, Bu?”masih tanya Sri.
Bu Isti tidak segera menjawab. Sejenak beliau mengolah pikir. Selang dua detik kemudian,”Kita jadikan tiga tenda, dan kita bagi menjadi enam regu.”
“Baik, Bu,”sela Aryo. “Apakah anak kelas 6 dari SD sini harus ikut semua, Bu?”lanjut si ketua kelas tadi meminta kejelasan.
“Ya. Semua harus ikut. Kecuali yang sakit!”jawab Bu Guru Is tegas.
Usai berkata demikian, diamlah Bu Is untuk menunggu pertanyaan teman Aryo yang lain. Suasana tanya jawab tampaknya berlangsung lama hingga siang.
***
Matahari tepat di atas kepala, ketika anak-anak pulang dari sekolah. Siang itu cuaca panas sekali. Udara terasa amat gerah. Gersang! Tenggorokan kering karena haus, sempat memaksa empat anak lelaki mampir ke gubug Ratman untuk meminta air putih. Keempat anak itu antara lain; Aryo, Rijo, Mulyo, dan Rudin.
“Permisi, Mbok! Ratman ada di rumah, Mbok?”salam Aryo dengan sopan.
Nenek tua yang di tangannya sedang menjahit baju pramuka usang itu, segera menjawab.
“Oh, ada, Nak, ada…! Mari silakan masuk!”dengan tergopoh-gopoh nenek tua yang ternyata ibu Ratman menyilakan Aryo dan kawan-kawan masuk.
Aryo dan ketiga temannya menurut. Mereka duduk di lincak bambu di sudut gubug tua warisan almarhum ayah Ratman.
Sementara itu, ibu Ratman segera menuju ke ruang tengah untuk mendapatkan Ratman, anak tunggalnya.
“Man! Itu ada kawan-kawanmu datang. Cepat temui mereka!”kata-kata ibu Ratman.
Ratman menurut. Anak lelaki yang murah senyum itu keluar menemui tamunya.
“Hai, Man! Kenapa empat hari ini engkau tak pernah masuk sekolah? Sakitkah engkau?”demikian Aryo bertanya panjang.
“Ya! Kenapa, Man?”tambah Rudin.
Ratman diam membisu.
“Sebenarnya sakit sih tidak, Nak,”jawab Mbok Ratman menerangkan. “Ratman cuma bingung. Sehari-hari ia hanya menangis saja. Gelisah dan tak mau makan.”
“Lho! Memangnya kenapa, Mbok?”dengan nada cukup kaget Rijo menyahuti.
“Ratman takut dimarahi gurunya, Nak. Sebab lusa ia tidak bakal bisa mengikuti kemah.”
“Kenapa memangnya, Mbok?”Mulyo ikut bertanya.
“Sebab Ratman tidak punya seragam pramuka yang pantas pakai, Nak. Lagipula ia tidak punya uang saku untuk bayar iurannya. Untuk itu Ratman pilih mogok sekolah.”
Mendengar penuturan tersebut, keempat kawan Ratman kaget seketika. Ada rasa haru bercampur iba di hati mereka. Oleh sebab itu untuk sesaat suasana jadi hening.
“Maaf, Mbok,”ujar Aryo memecah keheningan. “Untuk urusan seragam maupun uang saku, tak usah Embok maupun Ratman pikirkan,”sambung si anak orang kaya di desanya itu penuh janji. “Kami semua nanti yang akan mencarikan jalan keluar bagi kesulitan Ratman, Mbok.”
” Betul, Mbok! Kami semua nanti yang akan mencarikan jalan keluar! Yang penting kau bersiap diri, Man. Besok lusa kau akan kami jemput untuk ikut kemah. Bagaimana?”tambah Rudin meyakinkan.
“Tapi….!”sambil tengadah memandang Rudin, Ratman membuka mulut.
“Tapi apa…?”
“Baju seragam dan uang saku, begitu?”sahut Aryo cepat.
Ratman mengangguk.
“Kau tak usah khawatir, Man! Tinggal berangkat! Semua urusan kami. Bagaimana?”
Ratman mengangguk lagi.
“Sudah. Kalau begitu, kami pulang dulu. Lusa kau kami jemput,”demikian Aryo berkata mantap.
***
Angin dingin masih terasa menggigil mengusap kulit. Kabut putih masih terlihat menyelimuti puncak gunung Slamet. Burung prenjak masih terdengar ramai kicaunya di dedahan cengkeh.
Pagi itu anak-anak SDN 02 Lumeneng berbondong-bondong berangkat ke bumi perkemahan dengan berjalan kaki. Mereka berjalan di sepanjang pematang sawah sambil bernyanyi-nyanyi riang. Hingga tak terasa jalan turun-naik mendaki perbukitan telah jauh ditempuhnya.
“Ayo, kita nyanyi terus! Ayo, Man, kita nyanyi terus untuk menghibur kesedihan hati! Kita semua pramuka, harus senantiasa gembira! Pantang sedih, pantang menyerah!”demikian seru Aryo di tengah-tengah anak lainnya.
Mereka terus melangkah ke arah utara sambil terus bertepuk tangan. Lagu ‘Di Sini Senang di Sana Senang’ terus mereka dendangkan. Hingga tak terasa mereka tiba di tempat tujuan. Aryo dan kawan-kawan merasa senang. Demikian pula Ratman.***
Label:
Cernak
SANDI TENGENGAN
Oleh Sardono Syarief
“Lapo jeyet dhlapu! Laka Hansa bemak geke!”
“Pa, pa, lapo….!”
Dua baris di atas merupakan bahasa sandi berbahasa Jawa ngoko, yang artinya kurang lebih demikian:
“Ayo cepet mlayu! Ana Landa nyedhak rene!” (Ayo cepat lari! Ada Belanda mendekat kemari!)
“Ya, ya, ayo…!” (Ya,ya, mari…!)
Bahasa sandi semacam di atas pada zaman perang melawan penjajah Belanda maupun Jepang dulu sering digunakan untuk berkomunikasi oleh para pejuang (Jawa), khususnya di desa tempat penulis dibesarkan, yaitu Desa Tengeng Wetan, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan, Jateng.
Penggunaan bahasa sandi yang sulit dikenal artinya oleh bangsa penjajah tersebut dimaksudkan untuk mempermudah mengatur strategi perang melawan penjajah. Sehingga rencana perang (gerilya) - terlepas dari bocoran para pejuang pengkhianat yang mencari upah pada pihak penjajah- akan bisa berjalan mulus tanpa hambatan sampai pada akhirnya para pejuang menang. Namun, apakah semua pejuang bisa berkomunikasi dengan bahasa sandi semacam di atas?
Sebagai jawabnya, tidak! Tidak semua pejuang mampu berkomunikasi dengan bahasa sandi yang disadap dari bahasa dan huruf Jawa, ha, na, ca, ra, ka, tersebut. Mereka yang ingin menguasai bahasa tersebut terlebih dahulu harus belajar sungguh-sungguh agar bisa mengenal arti dan menggunakan bahasa sandi secara lisan dengan fasih. Bagaimana caranya?
Untuk menguasai bahasa sandi tersebut ternyata sebelumnya para pejuang harus menguasai huruf Jawa ha, na, ca, ra, ka….Dari huruf-huruf yang dikuasai di luar kepala itu nantinya harus diketahui kebalikan maupun kemiripan-kemiripan dari huruf-huruf itu sendiri. Misal, huruf ha, berkebalikan dengan huruf la. Huruf na berkemiripan dengan huruf ka. Huruf ra berkemiripan dengan huruf ga. Huruf sa berkemiripan dengan huruf da. Huruf wa berkemiripan dengan huruf ta, dan sebagainya.
Ambil contoh, “Saiki posisi Landa ana ngendi?” (Sekarang, posisi Belanda di mana?). Untuk mengatakan kalimat seperti di atas penguasaan huruf-huruf Jawa oleh para pejuang harus dipahami betul. Ini bila tidak ingin salah arti atau salah tafsir. Untuk memahami kalimat yang berbunyi, saiki posisi Landa ana ngendi? Mari kita urai satu demi satu suku kata maupun hurufnya!
Saiki, kita cari masing-masing suku katanya, yaitu sa, i, dan ki. Huruf sa berkebalikan dengan da. Huruf i (hi) berkebalikan dengan (li). Huruf ka berkemiripan dengan na. Jika sa, menjadi da, i menjadi li, dan ki menjadi ni. Maka akan kita temukan kata saiki, menjadi dalini.
Posisi, kita cari suku katanya, antara lain huruf pa, dan sa. Huruf pa berkemiripan dengan huruf ya. Sedangkan sa berkebalikan dengan huruf da. Sehingga kata po menjadi yo, sisi menjadi didi. Hingga kita dapatkan kata posisi menjadi yodidi.
Landa, terdiri dari kata lan dan da. Huruf la berkebalikan dengan ha. Huruf da berkebalikan dengan sa. Sehingga kata Landa menjadi Hansa.
Ana, huruf a (ha), berkebalikan dengan la. Huruf na berkemiripan dengan ka. Sehingga kata ana menjadi laka.
Ngendi, terdiri dari kata ngen dan di. Huruf nga berkemiripan tha, huruf da berkebalikan dengan sa. Sehingga kata ngendi menjadi thensi.
Bila kalimat ‘Saiki posisi Landa ana ngendi?’ kita terjemahkan ke dalam bahasa sandi jawa model tengengan menjadi ‘Dalini yodidi Hansa laka thensi?’
Bagaimana dengan kalimat,”Bangsa Indonesia wis merdeka (Bangsa Indonesia sudah merdeka)”?
Mari kita uraikan satu persatu suku kata dan katanya sebagai berikut!
Bangsa, terdiri dari huruf ba dan sa. Huruf ba berkemiripan dengan huruf nya. Huruf sa berkebalikan dengan da. Sehingga kata bangsa menjadi nyangda.
Indonesia, terdiri dari huruf i (hi), berkebalikan dengan huruf la (li). Huruf dho, berkebalikan dengan ma (mo). Huruf ne (na) bekemiripan dengan huruf ka (ke). Huruf sa (si) berkebalikan dengan huruf di. Huruf a (ha) berkembalikan dengan la. Sehingga kata Indonesia menjadi Linmokedila.
Kata wis, terdiri dari huruf wa (wi) berkemiripan dengan huruf ta (ti). Sehingga kata wis menjadi tis.
Merdeka, terdiri dari huruf ma, da, dan ka. Huruf ma (mer) berkebalikan dengan huruf dha (dher). Huruf dha (dhe) berkebalikan dengan huruf ma (me), dan ka berkemiripan dengan na. Sehingga kata merdeka menjadi dhermena.
Jika kalimat ‘Indonesia wis merdeka’ kita utarakan dengan bahasa sandi, maka menjadi ‘Linmokedila dis dhermena’.
Nah, itulah sepotong cuplikan bahasa sandi Jawa ngoko dari huruf jawa ha, na, ca, ra, ka…. yang dulu pernah berjasa dalam ikut mengecoh para penjajah di tanah jawa, setidaknya di desa tempat tinggal penulis, Tengeng Wetan. Bagaimana dengan daerah tempat tinggal pembaca?
****************
Sardono Syarief
Ketua AGUPENA Kab. Pekalongan
Pengurus Dewan Kesenian Daerah Kab.Pekalongan
“Lapo jeyet dhlapu! Laka Hansa bemak geke!”
“Pa, pa, lapo….!”
Dua baris di atas merupakan bahasa sandi berbahasa Jawa ngoko, yang artinya kurang lebih demikian:
“Ayo cepet mlayu! Ana Landa nyedhak rene!” (Ayo cepat lari! Ada Belanda mendekat kemari!)
“Ya, ya, ayo…!” (Ya,ya, mari…!)
Bahasa sandi semacam di atas pada zaman perang melawan penjajah Belanda maupun Jepang dulu sering digunakan untuk berkomunikasi oleh para pejuang (Jawa), khususnya di desa tempat penulis dibesarkan, yaitu Desa Tengeng Wetan, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan, Jateng.
Penggunaan bahasa sandi yang sulit dikenal artinya oleh bangsa penjajah tersebut dimaksudkan untuk mempermudah mengatur strategi perang melawan penjajah. Sehingga rencana perang (gerilya) - terlepas dari bocoran para pejuang pengkhianat yang mencari upah pada pihak penjajah- akan bisa berjalan mulus tanpa hambatan sampai pada akhirnya para pejuang menang. Namun, apakah semua pejuang bisa berkomunikasi dengan bahasa sandi semacam di atas?
Sebagai jawabnya, tidak! Tidak semua pejuang mampu berkomunikasi dengan bahasa sandi yang disadap dari bahasa dan huruf Jawa, ha, na, ca, ra, ka, tersebut. Mereka yang ingin menguasai bahasa tersebut terlebih dahulu harus belajar sungguh-sungguh agar bisa mengenal arti dan menggunakan bahasa sandi secara lisan dengan fasih. Bagaimana caranya?
Untuk menguasai bahasa sandi tersebut ternyata sebelumnya para pejuang harus menguasai huruf Jawa ha, na, ca, ra, ka….Dari huruf-huruf yang dikuasai di luar kepala itu nantinya harus diketahui kebalikan maupun kemiripan-kemiripan dari huruf-huruf itu sendiri. Misal, huruf ha, berkebalikan dengan huruf la. Huruf na berkemiripan dengan huruf ka. Huruf ra berkemiripan dengan huruf ga. Huruf sa berkemiripan dengan huruf da. Huruf wa berkemiripan dengan huruf ta, dan sebagainya.
Ambil contoh, “Saiki posisi Landa ana ngendi?” (Sekarang, posisi Belanda di mana?). Untuk mengatakan kalimat seperti di atas penguasaan huruf-huruf Jawa oleh para pejuang harus dipahami betul. Ini bila tidak ingin salah arti atau salah tafsir. Untuk memahami kalimat yang berbunyi, saiki posisi Landa ana ngendi? Mari kita urai satu demi satu suku kata maupun hurufnya!
Saiki, kita cari masing-masing suku katanya, yaitu sa, i, dan ki. Huruf sa berkebalikan dengan da. Huruf i (hi) berkebalikan dengan (li). Huruf ka berkemiripan dengan na. Jika sa, menjadi da, i menjadi li, dan ki menjadi ni. Maka akan kita temukan kata saiki, menjadi dalini.
Posisi, kita cari suku katanya, antara lain huruf pa, dan sa. Huruf pa berkemiripan dengan huruf ya. Sedangkan sa berkebalikan dengan huruf da. Sehingga kata po menjadi yo, sisi menjadi didi. Hingga kita dapatkan kata posisi menjadi yodidi.
Landa, terdiri dari kata lan dan da. Huruf la berkebalikan dengan ha. Huruf da berkebalikan dengan sa. Sehingga kata Landa menjadi Hansa.
Ana, huruf a (ha), berkebalikan dengan la. Huruf na berkemiripan dengan ka. Sehingga kata ana menjadi laka.
Ngendi, terdiri dari kata ngen dan di. Huruf nga berkemiripan tha, huruf da berkebalikan dengan sa. Sehingga kata ngendi menjadi thensi.
Bila kalimat ‘Saiki posisi Landa ana ngendi?’ kita terjemahkan ke dalam bahasa sandi jawa model tengengan menjadi ‘Dalini yodidi Hansa laka thensi?’
Bagaimana dengan kalimat,”Bangsa Indonesia wis merdeka (Bangsa Indonesia sudah merdeka)”?
Mari kita uraikan satu persatu suku kata dan katanya sebagai berikut!
Bangsa, terdiri dari huruf ba dan sa. Huruf ba berkemiripan dengan huruf nya. Huruf sa berkebalikan dengan da. Sehingga kata bangsa menjadi nyangda.
Indonesia, terdiri dari huruf i (hi), berkebalikan dengan huruf la (li). Huruf dho, berkebalikan dengan ma (mo). Huruf ne (na) bekemiripan dengan huruf ka (ke). Huruf sa (si) berkebalikan dengan huruf di. Huruf a (ha) berkembalikan dengan la. Sehingga kata Indonesia menjadi Linmokedila.
Kata wis, terdiri dari huruf wa (wi) berkemiripan dengan huruf ta (ti). Sehingga kata wis menjadi tis.
Merdeka, terdiri dari huruf ma, da, dan ka. Huruf ma (mer) berkebalikan dengan huruf dha (dher). Huruf dha (dhe) berkebalikan dengan huruf ma (me), dan ka berkemiripan dengan na. Sehingga kata merdeka menjadi dhermena.
Jika kalimat ‘Indonesia wis merdeka’ kita utarakan dengan bahasa sandi, maka menjadi ‘Linmokedila dis dhermena’.
Nah, itulah sepotong cuplikan bahasa sandi Jawa ngoko dari huruf jawa ha, na, ca, ra, ka…. yang dulu pernah berjasa dalam ikut mengecoh para penjajah di tanah jawa, setidaknya di desa tempat tinggal penulis, Tengeng Wetan. Bagaimana dengan daerah tempat tinggal pembaca?
****************
Sardono Syarief
Ketua AGUPENA Kab. Pekalongan
Pengurus Dewan Kesenian Daerah Kab.Pekalongan
Langganan:
Postingan (Atom)