MENGGALI POTENSI DIRI MELALUI CERITA DAN PUISI: SANDI TENGENGAN
DENGAN SASTRA KITA BERBAGI RASA

Senin, 16 Agustus 2010

SANDI TENGENGAN

Oleh Sardono Syarief


“Lapo jeyet dhlapu! Laka Hansa bemak geke!”
“Pa, pa, lapo….!”
Dua baris di atas merupakan bahasa sandi berbahasa Jawa ngoko, yang artinya kurang lebih demikian:
“Ayo cepet mlayu! Ana Landa nyedhak rene!” (Ayo cepat lari! Ada Belanda mendekat kemari!)
“Ya, ya, ayo…!” (Ya,ya, mari…!)
Bahasa sandi semacam di atas pada zaman perang melawan penjajah Belanda maupun Jepang dulu sering digunakan untuk berkomunikasi oleh para pejuang (Jawa), khususnya di desa tempat penulis dibesarkan, yaitu Desa Tengeng Wetan, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan, Jateng.
Penggunaan bahasa sandi yang sulit dikenal artinya oleh bangsa penjajah tersebut dimaksudkan untuk mempermudah mengatur strategi perang melawan penjajah. Sehingga rencana perang (gerilya) - terlepas dari bocoran para pejuang pengkhianat yang mencari upah pada pihak penjajah- akan bisa berjalan mulus tanpa hambatan sampai pada akhirnya para pejuang menang. Namun, apakah semua pejuang bisa berkomunikasi dengan bahasa sandi semacam di atas?
Sebagai jawabnya, tidak! Tidak semua pejuang mampu berkomunikasi dengan bahasa sandi yang disadap dari bahasa dan huruf Jawa, ha, na, ca, ra, ka, tersebut. Mereka yang ingin menguasai bahasa tersebut terlebih dahulu harus belajar sungguh-sungguh agar bisa mengenal arti dan menggunakan bahasa sandi secara lisan dengan fasih. Bagaimana caranya?
Untuk menguasai bahasa sandi tersebut ternyata sebelumnya para pejuang harus menguasai huruf Jawa ha, na, ca, ra, ka….Dari huruf-huruf yang dikuasai di luar kepala itu nantinya harus diketahui kebalikan maupun kemiripan-kemiripan dari huruf-huruf itu sendiri. Misal, huruf ha, berkebalikan dengan huruf la. Huruf na berkemiripan dengan huruf ka. Huruf ra berkemiripan dengan huruf ga. Huruf sa berkemiripan dengan huruf da. Huruf wa berkemiripan dengan huruf ta, dan sebagainya.
Ambil contoh, “Saiki posisi Landa ana ngendi?” (Sekarang, posisi Belanda di mana?). Untuk mengatakan kalimat seperti di atas penguasaan huruf-huruf Jawa oleh para pejuang harus dipahami betul. Ini bila tidak ingin salah arti atau salah tafsir. Untuk memahami kalimat yang berbunyi, saiki posisi Landa ana ngendi? Mari kita urai satu demi satu suku kata maupun hurufnya!
Saiki, kita cari masing-masing suku katanya, yaitu sa, i, dan ki. Huruf sa berkebalikan dengan da. Huruf i (hi) berkebalikan dengan (li). Huruf ka berkemiripan dengan na. Jika sa, menjadi da, i menjadi li, dan ki menjadi ni. Maka akan kita temukan kata saiki, menjadi dalini.
Posisi, kita cari suku katanya, antara lain huruf pa, dan sa. Huruf pa berkemiripan dengan huruf ya. Sedangkan sa berkebalikan dengan huruf da. Sehingga kata po menjadi yo, sisi menjadi didi. Hingga kita dapatkan kata posisi menjadi yodidi.
Landa, terdiri dari kata lan dan da. Huruf la berkebalikan dengan ha. Huruf da berkebalikan dengan sa. Sehingga kata Landa menjadi Hansa.
Ana, huruf a (ha), berkebalikan dengan la. Huruf na berkemiripan dengan ka. Sehingga kata ana menjadi laka.
Ngendi, terdiri dari kata ngen dan di. Huruf nga berkemiripan tha, huruf da berkebalikan dengan sa. Sehingga kata ngendi menjadi thensi.
Bila kalimat ‘Saiki posisi Landa ana ngendi?’ kita terjemahkan ke dalam bahasa sandi jawa model tengengan menjadi ‘Dalini yodidi Hansa laka thensi?’
Bagaimana dengan kalimat,”Bangsa Indonesia wis merdeka (Bangsa Indonesia sudah merdeka)”?
Mari kita uraikan satu persatu suku kata dan katanya sebagai berikut!
Bangsa, terdiri dari huruf ba dan sa. Huruf ba berkemiripan dengan huruf nya. Huruf sa berkebalikan dengan da. Sehingga kata bangsa menjadi nyangda.
Indonesia, terdiri dari huruf i (hi), berkebalikan dengan huruf la (li). Huruf dho, berkebalikan dengan ma (mo). Huruf ne (na) bekemiripan dengan huruf ka (ke). Huruf sa (si) berkebalikan dengan huruf di. Huruf a (ha) berkembalikan dengan la. Sehingga kata Indonesia menjadi Linmokedila.
Kata wis, terdiri dari huruf wa (wi) berkemiripan dengan huruf ta (ti). Sehingga kata wis menjadi tis.
Merdeka, terdiri dari huruf ma, da, dan ka. Huruf ma (mer) berkebalikan dengan huruf dha (dher). Huruf dha (dhe) berkebalikan dengan huruf ma (me), dan ka berkemiripan dengan na. Sehingga kata merdeka menjadi dhermena.
Jika kalimat ‘Indonesia wis merdeka’ kita utarakan dengan bahasa sandi, maka menjadi ‘Linmokedila dis dhermena’.
Nah, itulah sepotong cuplikan bahasa sandi Jawa ngoko dari huruf jawa ha, na, ca, ra, ka…. yang dulu pernah berjasa dalam ikut mengecoh para penjajah di tanah jawa, setidaknya di desa tempat tinggal penulis, Tengeng Wetan. Bagaimana dengan daerah tempat tinggal pembaca?

****************

Sardono Syarief

Ketua AGUPENA Kab. Pekalongan
Pengurus Dewan Kesenian Daerah Kab.Pekalongan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar