Oleh Sardono Syarief
Domiyang adalah desa tempat tinggal Imam. Anak itu dilahirkan dari keluarga tak mampu. Bapaknya bernama Rawi. Usianya sudah hampir enam puluh tahun. Sumi, ibunya pun umurnya sudah cukup tua. Adapun Imam merupakan anak tunggal mereka.
Entah oleh pengaruh siapa, setelah agak besar, Imam memiliki sifat nakal. Dia berani membantah perintah kedua orang tuanya. Bahkan sering ia menyakiti hati Pak Rawi dan Bu Sumi. Padahal ketika kecil dulu Imam sangat patuh terhadap Pak Rawi maupun Bu Sumi. Dia pun rajin belajar mengaji. Taat mendirikan sholat. Anak itu mengerti akan dosa. Begitu pula di sekolah, ia termasuk murid yang bertabiat baik, hormat pada guru, lagi cukup pandai.
Namun sayang. Setelah usianya menginjak ketiga belas tahun, watak Imam berubah total. Anak itu nakal. Sikapnya kian tak terarah. Sedikit saja kedua orang tuanya tak sengaja berbuat salah, tak segan-segan Imam membalasnya dengan kesalahan pula. Malah disengaja agar kedua orang tuanya jadi sakit hati lagi marah.
Seperti pada Senin pagi itu. Imam telah bersiap diri. Bukannya untuk pergi ke sekolah. Sebab dia telah mogok di kelas 5 setahun yang lalu. Tetapi untuk berangkat berburu burung. Terlihat di lehernya menggelantung sebuah ketapel karet. Sebuah alat yang biasa digunakannya untuk membidik burung liar di pepohonan.
“Hendak ke mana kau pergi, Mam?”tanya ibunya ingin tahu.
“Tidak usah banyak tanya!”sahut Imam ketus. Sama sekali tak sopan.
“Jangan mengganggu anak-anak sekolah di jalan! Nanti kau dimarahi orang!”
“Terserah saya. Ibu tak usah mengatur!”sambil menjawab seperti itu, tangan Imam telah berkacak pinggang. Kedua bola matanya melotot ke arah Bu Sumi.
Tiap kali melihat sikap Imam demikian, Bu Sumi lebih baik pilih diam. Sebab ibu tadi tahu benar, bila dirinya terus berkomentar, tentu anak itu akan marah. Bahkan bisa jadi dirinya akan mendapatkan bidikan peluru batu Imam.
Sementara itu, Imam telah melangkah jauh menyusuri jalan desa. Sesekali mukanya tengadah ke atas. Kedua bola matanya mengintai burung-burung yang berloncatan di reranting cengkih. Satu dua kali anak itu tampaknya telah pula melepaskan bidikan ke sasarannya. Namun tak seekor burung pun yang jatuh akibat hantaman peluru batu dari ketapel maut Imam.
“Duh, sialan!”gerutu Imam. “Prenjak kurang ajar!”gerutunya lagi dengan hati mulai kecewa. “Mau mati saja banyak bertingkah,”sambungnya sambil mengejar lari burung prenjak.
Rupanya sepasang burung kecil yang cantik tadi berhasil menghindar dari amukan Imam. Keduanya terbang berpindah pohon akibat kaget oleh suara kerosak daun cengkeh yang terusik peluru batu anak itu.
“Prilak...! Prilak....! Prilak....! Cer....! Cer.....! Cer....!”
Kedua burung itu bahkan berkicau bersahutan. Oleh Imam kicauan tersebut dirasakan sebagai ejekan. Imam sangat tersinggung oleh ulah kedua burung kecil tadi. Oleh karena itu, dengan amat membabi buta, anak itu berkali-kali melepaskan peluru batu dengan ketapil mautnya.
“Ini, kaurasakan peluru ampuhku, prenjak sialan!”gerutunya sambil menarik kuat-kuat karet ketapel yang disandangnya. “Jret...!”
“Blebeeeerrr....!”karena kagetnya, kedua prenjak tadi pun segera terbang berpindah tempat.
“Prilak..! Prilak...! Prilak....!”seraya melompat-lompat di ranting manggis, sang jantan berkicau mencari-cari betinanya.
“Cer...! Cer...! Cer...!”sahut sang betina dari pohon lain.
“Huuh, kurang ajar! Menghina saya kamu ya, Prenjak?”marah Imam makin bertambah.
“Ini, terimalah ganjaran peluruku! Jret...!”sekali lagi anak itu melepaskan pelurunya.
“Blebeeerr....!”kedua burung tadi serentak menghindar.
“Uh, tak kena!”hati Imam makin dongkol.
“Ini, sekali lagi! Jret...!”keras-keras peluru batu itu dilepas. Namun tak mengenai sasaran. Peluru batu tadi menghantam dahan manggis. Karena tekanannya sangat keras, maka mentallah peluru batu tersebut ke arah semula. Peluru batu sebesar kelereng itu melesat menghantam bola mata kanan Imam.
“Aduuuuuhhhhhhh....! Toloooooooong......! Tolong, aku, aduuuuhhhhhhhh....! Toloooong....! Hee....eeemmm....! Sakiiiiiitttt………..!
Aduh, toloooooooooooooong………….!”
Imam meraung-raung kesakitan. Dirinya jatuh bangun meminta tolong. Namun sayang. Saat itu di tempat tersebut sepi. Tak ada seorang pun yang melintas di situ. Sehingga lama sekali Imam merasakan sakitnya hantaman peluru batu yang mengenai bola mata kanannya. Bola mata Imam pecah tampaknya. Dari dalamnya mengucur deras darah segar.
“Aduh, Bu.....! Aduh, Pak....! Aduh.....! Maafkan aku, Bu...! Maafkan aku, Pak....! Hou......!”Imam menangis. Anak itu teringat pada Bapak dan Ibunya di rumah. Ia sangat menyesali akan perbuatan durhaka terhadap kedua orangtuanya.
Imam terus meraung-raung. Karena jauh dari rumah, Bapak maupun Ibunya tak mendengar raungan Imam. Semakin anak nakal itu meraung, semakin deras pula darah yang mengalir dari bola mata kanannya. Semakin pedih pula derita yang ia rasakan. Hingga akhirnya Imam tak sadarkan diri. Lama………..!
------------------------------
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar